TEOLOGI MEMORIA PASSIONIS DALAM PRAKTIK MEDIS

Di ruang rumah sakit, penderitaan pasien  sering kali diubah menjadi angka, grafik, dan catatan medis. Ada prosedur bahwa penderitaan pasien harus dicatat dalam berkas, hasil pemeriksaan harus diubah menjadi angka di laboratorium, dan tekanan darah terekam dalam monitor. Semua  prosedur ini dibutuhkan agar dokter dan perawat mendapatkan informasi yang akurat untuk menentukan langkah penyembuhan. Sebab tanpa itu, dokter dan perawat tak akan memiliki pijakan ilmiah untuk menentukan langkah penyembuhan.

Namun di sisi lain, prosedur medis yang berlebihan dapat membuat rasa takut dan harapan pasien kehilangan tempat. Bayangkan saja seorang pasien lansia datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak napas dan rasa cemas. Lalu perawat segera melakukan semua prosedur medis mulai dari pencatatan identitas hingga serangkaian tes laboratorium dan rontgen. Namun, selama itu,  tak seorang pun perawat menatap wajah pasien atau mendengarkan kegelisahannya. Ketika pasien mencoba bertanya, jawabannya hanya: “Tunggu hasil lab, Pak.”

Secara medis, semua langkah itu benar dan diperlukan. Tetapi di sinilah nampak prosedur medis yang berlebihan. Pasien diperlakukan seakan-akan ia hanyalah tubuh biologis yang harus diperiksa, bukan pribadi yang sedang takut akan kematian. Rasa cemasnya tidak pernah diberi ruang, harapannya tidak pernah disapa. Alhasil, praktik medis yang seharusnya menjadi seni merawat kini terjebak dalam rutinitas teknokratis dan kehilangan struktur patisnya. Struktur patis mencakup aspek-aspek yang biasanya dianggap “tidak penting, dan lebih baik dijauhkan dari pandangan”.Struktur patis merujuk pada aspek penderitaan, kesedihan, dan duka yang harus diperhitungkan dalam praksis manusia.

Kondisi ini menuntut pergeseran sudut pandang. Dan Memoria Passionis Johan Babtist Metz menjadi refleksi teologis terhadap pengikisan subjek dan dominasi rasionalitas teknokratis  dalam praktis medis yang kehilangan struktur patisnya. Dalam Teologi, memoria passionis adalah ingatan akan penderitaan, salib, dan kebangkitan. Tapi di luar teologi pun, ia bekerja seperti bara yang membakar kemapanan. Memoria passionis menjadi kategori kritis yang melawan lupa terhadap penderitaan. Ia berikhtiar mengembalikan struktur patis. Baginya, penderitaan  yang terjadi dalam hidup ini, bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian tak terhapuskan dari kenyataan. Karena itu,  memoria passionis menjadi pengingat bahwa setiap praksis, termasuk praksis medis, tak boleh hanya berorientasi pada kontrol teknis prosedural seperti pencatatan data pasien ataupun hasil labolatorium, dan lain-lain. Tetapi Praktik medis harus mengakui struktur patis pasien sebagai pengalaman eksistensial yang menuntut solidaritas.

Namun solidaritas dengan pasien bukan solidaritas dingin yang lahir dari kewajiban kontrak, melainkan solidaritas yang mengalir dari hati. Solidaritas ini punya warna, punya rasa. Solidaritas ini nampak dalam perawat yang duduk di tepi ranjang, meski kursinya keras. Ia hadir dalam dokter yang mendengarkan lebih lama dari jadwalnya, meski ruangannya pengap. Ia terdengar dalam suara lembut yang berkata, “Saya di sini bersama Anda,”. Solidaritas ini kadang berarti rugi. Ia bisa berarti kehilangan tenaga, waktu, bahkan kenyamanan. Metz menyebutnya solidaritas anamnetik yakni sebuah solidaritas dengan yang kalah dan yang mati (solidaritas mundur) di mana  tindakan praksis harus dijiwai oleh ingatan kritis (memoria passionis), yang menuntut kebutuhan akan perhatian manusiawi dan pendengaran.  Solidaritas ini, kata Metz, adalah cara iman menjamin keasliannya. Sebuah praxis yang mistik sekaligus politis yang menjaga agar perawatan terhadap pasien tidak jatuh dalam prosedural dan rasionalitas tak berperasaan.

Dalam konteks ini, perawatan pasien yang sejati sejati bukan hanya mengobati mereka secara prosedur, tetapi juga menyapa penderitaan, memberi ruang bagi tangisan, serta mengakui martabat subjek manusia pasien. Hanya dengan itu penyembuhan tidak berhenti pada hasil lab dan obat, tetapi menjadi praxis yang etis sekaligus teologis. Menyembuhkan dengan ilmu, tetapi juga dengan ingatan, solidaritas, dan kasih. (Penulis: Christian Romario).