KEPERAWATAN DI ANTARA DIALEKTIKA BIOLOGI DAN BIOGRAFI

Kesehatan tak pernah berdiri sendiri. Ia tak mungkin dipisahkan dari budaya, dari kepercayaan, dari nilai yang diwariskan, dan dari cara sebuah masyarakat memaknai hidup dan sakit. Begitulah kira-kira pandangan Madeleine Leininger, sosok profesor di Fakultas Keperawatan University of Nebraska Medical Center. Baginya, keperawatan hanya akan berarti bila sang perawat peduli terhadap asal-usul manusia yang dirawatnya, bahasa, keyakinan, bahkan cara pasien menatap kematian dan kehidupan.

Tanpa kepedulian terhadap budaya pasien, rumah sakit akan tampak seperti dunia yang asing. Bau antiseptik yang menyengat, instruksi medis yang terdengar seperti bahasa asing, dan tubuh pasien yang seakan terlepas dari sejarahnya sendiri. Padahal, kata Leininger, setiap manusia membawa budaya yang melekat di kulitnya, di doanya, di makanannya, dan di diamnya. Mengabaikan itu sama saja mencabut akar dari tubuh yang sakit.

Barangkali  itulah yang membuat sang profesor mengembangkan Sunrise Model dalam keperawatan. Sunrise model bukan teori yang kaku, melainkan peta visual yang mengingatkan bahwa perawatan tak bisa dilihat tanpa cahaya budaya. Ada faktor agama dan spiritualitas. Ada sistem politik dan ekonomi. Ada sejarah, bahasa, peran gender, hingga pandangan dunia yang membentuk cara seseorang menafsirkan tubuhnya sendiri. Semua itu adalah horizon yang tak boleh dihapuskan dari ruang keperawatan.

Itulah sebabnya Sunrise model menuntun pada tiga cara bertindak.

Pertama, Care Preservation. Merawat, dengan tetap menjaga. Itu berarti seorang perawat yang membiarkan pasiennya menjalani doa-doa tertentu sebelum operasi. Atau perawat yang memahami mengapa seorang ibu di pedesaan memilih jamu tertentu, dan bukannya obat kimia, sebagai penawar. Dalam care preservation. Ada penghormatan dan pengakuan bahwa nilai budaya bisa mempercepat penyembuhan, bahkan bila tak sepenuhnya sejalan dengan ilmu modern.

Kedua, Care Accommodation. Di sini, perawat mesti menegosiasikan perbedaan. Memang medis modern tak selalu akrab dengan tradisi. Kadang ada benturan. Tapi, seperti dalam sebuah dialog yang dewasa, bukan pemaksaan yang ditekankan, melainkan pencarian titik temu. Win-win solution, kata para manajer. Sedangkan di ranjang rumah sakit, itu berarti sebuah ruang yang memberi tempat bagi pasien tetap merasa dihargai, sekaligus tetap aman.

Ketiga, Care Repatterning. Ini yang paling sulit karena perawat mesti membantu pasien mengubah praktik budaya yang membahayakan tanpa meniadakan martabat pasien. Misalnya, seorang pasien yang percaya pada pantangan tertentu yang justru memperburuk kondisi sakit. Perawat, di sini, bukan hakim. Ia fasilitator, ia teman bicara yang merubah pasien bukan dari pemaksaan, melainkan dari penghormatan.

Leininger menyebut semua itu sebagai transcultural nursing. Tapi di luar istilah akademis, saya melihatnya sebagai usaha untuk tidak melupakan satu hal yakni bahwa tubuh bukan sekadar biologi. Ia juga biografi. Ia menyimpan cerita yang dibentuk oleh adat, oleh doa, oleh bahasa ibu.

Mungkin inilah yang sering hilang dalam modernitas yakni:kesadaran bahwa kesehatan bukan semata urusan mesin dan obat, melainkan juga sebuah tafsir tentang hidup. Seperti halnya puisi, ia tak bisa dipisahkan dari budaya yang melahirkannya.

Dan barangkali sunrise model itu hanyalah cara sang profesor berpesan bahwa merawat manusia selalu berarti merawat seluruh dunianya. (Penulis : Christian Romario / Gambar latar belakang AI art design : Christian Romario).

PUSTAKA

Reynolds, C. L., & Leininger, M. M. (1993). Madeleine Leininger: Cultural Care Diversity and Universality Theory (Notes on Nursing Theories, Vol. 8). Sage Publications