Dulu, etika lahir dari anggapan bahwa tindakan dan tanggung jawab manusia terbatas secara sempit. Hal ini karena cakrawala sebab-akibatnya pendek. Ibarat kalau petani menanam padi, petani tersebut bertanggung jawab hanya untuk menafkahi keluarganya. Atau kalau seorang tenaga medis menolong pasien, ia bertanggung jawab menyelamatkan pasien di ranjang rumah sakit. Etika tradisional yang demikian membuat semua seakan terkurung dalam ruang sempit dan waktu yang pendek.
Kini tidak lagi. Perkembangan teknologi telah mengubah kerangka etika tradisional yang berdampak pada meluasnya jangkauan tindakan dan tanggung jawab manusia. Perubahan ini tampak jelas dalam pengelolaan data kesehatan. Jika dulu data disimpan di lemari arsip rumah sakit, kini data-data disimpan pada server dan cloud yang bisa diakses dari mana-mana. Itu artinya, sekali ada data yang bocor, jutaan orang bisa terkena akibatnya. Lantas muncul persoalan baru tentang privasi, keamanan, tanggung jawab, serta keadilan dalam penggunaannya.
Sebagai contoh, kebocoran data kesehatan pernah dialami masyarakat pada Mei 2021. Dikisahkan bahwa data jutaan peserta BPJS Kesehatan ditawarkan di forum gelap, seharga 0,15 Bitcoin. Penjualnya, dengan nama “Kotz”, bahkan memberi sejuta contoh gratis. Jumlah total disebut 279 juta, lengkap dengan 20 juta foto personal. Seakan-akan tubuh, alamat, riwayat, dan wajah orang bisa dipaketkan atau diperdagangkan. BPJS Kesehatan pun mengakui, sebagian data yang beredar “mirip” dengan milik mereka. Tapi mereka tak bisa memastikan. Forensik digital butuh waktu, katanya. (6 Kasus Kebocoran Data Pribadi di Indonesia | tempo.co).

Kebocoran 279 juta data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa pasien tak lagi hanya berhadapan dengan dokter atau perawat. Ia kini juga berhadapan dengan algoritma, sistem penyimpanan, perusahaan teknologi, bahkan peretas yang kapan saja dapat menyebarkan data dirinya. Apabila data bocor yang hilang bukan sekadar angka, melainkan rasa aman yang paling dalam. Inilah krisis kepercayaan yang membayang-bayangi dunia medis.
Bayang-bayang krisis kepercayaan sontak memanggil dunia medis untuk mulai bersandar pada etika yang baru. Barangkali Filsuf abad 20, Hans Jonas bisa mendapatkan tempatnya di sini. Hans Jonas menyarankan sesuatu etika yang unik yakni heuristik ketakutan. Heuristik ketakutan adalah sebuah imajinasi tentang bahaya, bukan harapan. Imajinasi tentang bahaya nampak ketika dalam menggunakan teknologi, kita tidak hanya membayangkan enaknya saja, tapi bayangkan juga bahayanya agar kita bisa lebih waspada.Dalam konteks ini, ketakutan bukanlah sikap pesimis, melainkan etika. Ketakutan, bagi Jonas, justru berguna karena ia menahan kita agar tidak gegabah.(Hans Jonas, 1984)
Dalam informatika medis, itu berarti menempatkan keamanan data bukan sebagai pelengkap, melainkan fondasi. Fondasi yang dibangun atas kesadaran bahwa teknologi yang membawa harapan sewaktu-waktu bisa juga membawa keburukan (malum). (Hans Jonas, 1984). Apalagi tanggung jawab dalam dunia medis, kini tidak berhenti di ranjang rumah sakit, tetapi telah meluas ke layar monitor, ke pusat data, ke ruang-ruang server yang menyimpan hasil tekanan darah, hasil rontgen, hingga riwayat penyakit pasien. Maka, kita perlu belajar merasa takut. Takut pada penggunaan informasi medis yang tidak bertanggung jawab. Takut untuk membocorkan atau memperjualbelikan data pasien Ketakutan, dalam arti ini, adalah sejenis kebijaksanaan awal agar kita tahu tidak semua yang bisa dilakukan, harus dilakukan. (Penulis: Christian Romario).
Pustaka
Jonas, Hans. The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. Diterjemahkan oleh Hans Jonas, dengan kolaborasi David F. Green. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1984
.
