Siang itu, kira-kira pukul 13.30 WITA, udara di ruang kelas STIKES St. Elisabeth Maumere tidak seperti biasanya. Kali ini ruangan kelas itu terasa lebih spesial, penuh rasa hangat dan akrab. Ruangan yang dilengkapi dengan deretan kursi logam yang tersusun rapi telah diisi oleh mahasiswa berseragam putih-putih dan sebagaian berpakaian adat. Sementara itu, pada dinding ruangan itu, terbentang spanduk besar bertuliskan: “Serap Aspirasi Masyarakat bersama Dr. Andreas Hugo Pareira, Anggota MPR RI Fraksi PDI Perjuangan”
Tak dapat disangkal, siang itu merupakan momentum dialog antara Dr. Andreas Hugo Pareira dan mahasiswa prodi D 3 keperawatan STIKES St. Elisabeth Keuskupan Maumere yang bersua dalam ruang sederhana namun sarat makna. Fasilitator Christian Romario menegaskan dialog yang akan berlangsung itu sebagai proses dialektika pengetahuan dan kebijaksanaan. “Dari lidah yang berbicara pengetahuan berpindah, Dan dari hati yang mendengar kebijaksanaan bertumbuh”, ujar Christian Romario yang pernah menyelesaikan program pendanaan AI Opportunity Fund Asia Pasific yang didukung oleh Google.org dan Asian Development Bank.

Ucapannya itu menjadi pengantar bagi RD. Gabriel Mane untuk mengambil alih sesi sebagai moderator. Di depan meja panjang berlapis taplak merah bermotif bunga putih dan warna ruangan yang terbagi antar hijau dan krem, RD. Gabriel Mane menyampaikan sambutannya. Suaranya tenang namun berwibawa, menggema lembut di antara salib kecil dan foto Presiden serta Wakil Presiden yang tergantung sejajar di dinding, “Selamat datang Bapak Dr. Andreas Hugo Pareira di kampus kami, STIKES St. Elisabeth Maumere. Kehadiran Bapak hari ini bukan hanya sebuah kehormatan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi kami semua khususnya bagi para mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri menjadi tenaga kesehatan yang profesional dan berbelarasa. Di tengah dunia yang terus berubah, kami percaya dialog seperti ini meneguhkan semangat kami untuk terus belajar, melayani, dan mencintai tanah air dengan cara kami masing-masing”, ucap Wakil Ketua Bidang Non Akademik tersebut yang kini sedang dalam studi program Doktoralnya.
Kata sambutan itu membuat beberapa mahasiswa nampak menatap dengan penuh hormat dan sebagian lain tersenyum kecil. Suasana itu pun mengiringi sepatah dua kata selanjutnya dari Dr. Andreas Hugo Pareira. Tak berselang lama, politisi PDI perjuangan itu pun berdiri dan mengambil alih microfon di atas meja. Suaranya yang mantap langsung memenuhi ruangan yang diliputi cahaya lembut yang terpantul dari lantai keramik yang mengkilap. “Saya senang sekali bisa hadir di sini untuk kesekian kalinya,” katanya membuka. “Saya mendengar banyak mahasiswa STIKES St. Elisabeth Maumere yang menerima Kartu Indonesia Pintar (KIP). Tapi saya ingin tanya, apakah kalian semua menjaga prestasi kalian? Apakah IPK kalian sesuai dengan yang diharapkan?”
Ruangan mendadak riuh kecil. Beberapa mahasiswa saling berpandangan dan tersenyum malu. Dr. Andreas Hugo Pareira pun tersenyum dan berkata: “Nah, itu penting. KIP bukan hanya bantuan dari negara,” lanjutnya, “tetapi kepercayaan. Negara membantu kalian agar bisa belajar dengan baik, bukan untuk bersantai”, tuturnya dihadapan Wakil ketua II Bidang Non Akademik, RD. Gabriel Mane dan wakil ketua I Bidang Akademik, RD. Marthon Wega, serta segenap civitas akademika prodi D 3 Keperawatan.

Kemudian, Anggota MPR RI Fraksi PDI Perjuangan tersebut berbicara lugas tentang tantangan zaman. “Kekhawatiran Gen Z adalah lapangan kerja,” katanya. “Karena kalian akan bersaing dengan kecerdasan buatan. Kalau generasi muda menganggur, Indonesia akan cemas”. Kata-katanya membuat suasana hening sesaat dan yang terdengar hanya suara pendingin udara yang berdesir lembut. Kalimat itu seperti menampar kesadaran bahwa masa depan bukan sesuatu yang datang, tapi sesuatu yang mesti dipersiapkan. Itulah sebabnya dengan mikrofon biru di tangan, Dr. Andreas Hugo masih menambahkan, “belajarlah secara profesional di bidangmu. Dunia butuh perawat, ahli informatika medis, dan fisioterapi yang tidak hanya terampil, tetapi juga berhati.” Mahasiswa pun mendengar dengan serius. Di antara mereka, ada yang sesekali mengangguk, seolah memahami bahwa ilmu medis bukan hanya urusan keterampilan, tetapi juga keteguhan kemanusiaan.
Dr. Andreas Hugo Pareira berhenti sejenak, lalu tersenyum. “Tapi,” lanjutnya, “kalau saya masuk rumah sakit, saya tidak mau dirawat oleh robot. Saya mau dirawat oleh perawat dari STIKES St. Elisabeth yang belajar secara profesional, yang punya hati.” Kalimat itu sontak memantik tepuk tangan riuh. Para mahasiswa tersenyum lebar dan sebagian tertawa kecil, seolah mendapatkan pengakuan atas profesi yang sering mereka perjuangkan dalam senyap. Ucapan itu terasa seperti doa yang lembut namun kuat. Karena bagi generasi muda yang hidup di tengah kecemasan digital, pesan tokoh yang rendah hati dan inspiratif itu adalah pengingat bahwa teknologi memang membantu, tetapi hati manusialah yang tetap memulihkan.

Selanjutnya di antara riuh tepuk tangan, terdengar kalimat “kalian pasti pernah mendengar slogan Indonesia menuju masa emas 2045,” ujar Andreas. “Dan kalian, Gen Z, akan menjadi penopang dunia kerja dan produktivitas bangsa. Kalau generasi muda pengangguran, maka Indonesia akan cemas, ” lanjutnya mengiringi jepretan fotografer kampus yang mengabadikan momen itu di sudut ruangan.
Tapi itu bukan akhir, beberapa saat kemudian, Dr. Andreas Hugo Pareira berjalan pelan agak ke tengah ruangan, mikrofon biru masih di genggamannya. Ia menatap para mahasiswa dengan senyum lebar, lalu mengangguk kecil sebelum melanjutkan, “tenaga medis dan tenaga fisioterapi banyak dibutuhkan sekarang,” katanya, suaranya mengalun mantap. “Baik di dalam negeri maupun di luar negeri, peluang itu besar. Dan saya sangat bangga mendengar ada enam belas alumnus STIKES St. Elisabeth-Keuskupan Maumere yang kini menjadi tenaga medis profesional di Jepang. Bahkan ada yang tahun lalu berpidato dalam bahasa Jepang. Itu luar biasa!”, ucap politisi asal Flores tersebut yang mendapat gelar Doktor Politik Internasional di Jerman.
Hal itu membuat suara tepuk tangan langsung memenuhi ruangan, menggema hingga ke luar ruangan. Sedangkan di barisan depan, beberapa mahasiswa saling menatap dengan wajah sumringah. Dan sebagian yang mengenakan pakaian adat tersenyum bangga, seakan merayakan keberhasilan teman-teman mereka yang kini menapaki panggung dunia.
Sementara itu, dari meja depan, tampak RD. Gabriel Mane dan RD. Marthon Wega menyimak dengan wajah penuh kebanggaan. Dr. Andreas Hugo Pareira lalu menoleh ke arah mereka sambil berkata, “Saya sungguh mengapresiasi perjuangan Romo dan Ibu Direktur,” ujarnya. “Perjuangan mereka membuat kampus ini maju. Saya tahu ada banyak tantangan, tapi hasilnya nyata yakni mahasiswa-mahasiswa yang berani bermimpi dan siap bersaing serta sudah ada tambahan dua prodi lagi yakni informatika medis dan fisioterapi”. Kata-katanya disambut anggukan dan tepuk tangan lagi, kali ini lebih hangat dan lebih personal yang memberi kesan bahwa kehadiran Dr. Andreas Hugo Pareira terasa bukan sebagai pejabat, melainkan sebagai sahabat yang datang memberi semangat dan keyakinan. Hal ini sungguh terasa di ruangan sederhana dengan pendingin udara berdesir pelan itu.

Keakraban ini semakin terasa ketika sesi tanya jawab dibuka yang membuat suasana ruangan makin hidup. Ketika moderator RD. Gabriel Mane membuka kesempatan bertanya, tangan-tangan mulai terangkat. Beberapa mahasiswa yang hendak bertanya diarahkan maju ke tengah ruangan dan berdiri untuk menyampaikan aspirasinya kepada politisi PDI Perjuangan tersebut. Mikrofon biru pun berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Ada yang bertanya tentang kesempatan mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Lainnya lagi menyampaikan kegelisahan soal kebutuhan gedung tambahan karena jumlah mahasiswa terus meningkat. “Bapak, jumlah mahasiswa STIKES semakin banyak setiap tahun. Kami berharap ada bantuan yang tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk institusi seperti pembangunan gedung tambahan”, ujar Rofin yang berdiri dari barisan tengah. Memang ada senyum gugup sebelum berbicara, ada tepuk tangan penuh dukungan setelah pertanyaan selesai. Tapi itu semua menjadi potongan kecil dari narasi besar mahasiswa STIKES St. Elisabeth Keuskupan Maumere yang belajar menjadi warga negara yang berpikir kritis dan demokratis.
Dr. Andreas Hugo Pareira, yang duduk dengan tenang di balik meja berlapis taplak merah bermotif bunga putih pun mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Dan dengan microfon biru berbicara menggunakan ritme lambat dan jelas. Tak ada nada politis, hanya penjelasan yang sederhana dan jujur dari seorang negarawan. Ia menyampaikan bahwa beasiswa untuk mahasiswa tetap diusahakan, namun dinamikanya tidak akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena pergantian pemerintahan turut mempengaruhi kebijakan. Rupanya pesan ini pun menjadi eipilog dari ruang dialog antara mahasiswa dan negarawan, antara civitas akademika St. Elisabeth Kesukupan Maumere dan Dr. Andreas Hugo Pareira.

Kendati demikian, di akhir acara, suasana keakraban itu tidak padam, malahan terus memuncak lewat sesi foto bersama. Para mahasiswa berebut kesempatan berfoto dengan Dr. Andreas Hugo Pareira, yang tetap sabar melayani satu per satu. Senyum mereka merekah saat sesi foto bersama, ketika kamera berbunyi. Namun di balik senyuman itu, tersimpan semangat muda yang tidak hanya ingin merawat tubuh manusia, tetapi juga menyembuhkan bangsa dengan kepedulian, profesionalisme, dan harapan yang tak pernah padam dari Serviam in Caitate. (Penulis: Christian Romario)
